This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Senin, 24 Desember 2012
Qiro'atul Qur'an
Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca (
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
Munculnya organisasi IPNU-IPPNU adalah bermula dari adanya jam’iyahyang bersifat local atau kedaerahan, wadah yang berupa kumpulan pelajar dan pesantren yang kesemuanya dikelola dan diasuh oleh ulama’. Jam’iyah tersebut tumbuh dan berkembang diberbagai daerah hamper diseluruh belahan bumi Indonesia misalnya jam’iyah dzibaan, yasinan dll, yang kesemuanya memiliki jalur tertentu dan satu sama lain tidak berhubungan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan nama yang terjadi didaerah masing-masing, mengingat lahirnya pun atas inisiataf sendiri-sendiri.
Di Surabaya putra dan putri Nahdlotul Ulama’ mendirikan perkumpulan yang diberi nama Tsamrotul Mustafidzin pada tahun 1936. Tiga tahun kemudian tahun 1939 lahi persatuan santri Nahdlotul Ulama’ atau PERSANU. Tahun 1941 lahir persatuan murid NO (PERMONO) pada saat itu bangsa indonesia mengalami pergolakan melawan penjajah jepang. Sehingga terbentuk IMANU atau Ikatan Murid Nahdlotul Ulama’ di kota malang pada tahun 1945.
Tahun 1950 di Semarang berdiri ikatan Mubaligh Nahdlotul Ulama’ dengan anggota masih remaja. Pada tahun 1953 di Kediri berdiri PERPANU (Persatuan Pelajar Nahdlotul Ulama’) pada tahun yang sama di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’ (IPNU) pada tahun 1954 di Medan berdiri Ikatan Pelajar Mahdlotul Ulama’ (IPNU) dan masih banyak yang tak tercantum dalan naskah ini.
Titik awal inilah yang menginspirasi para perintis pendiri IPNU-IPPNU untuk menyatukan langkah dalam satu perkumpulan.
2. Periode Kelahiran
Aspek-aspek yang melatar belakangi IPNU-IPPNU berdiri antara lain:
a. Aspek Ideologis
Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama islam dan berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah, sehingga untuk melestarikan faham tersebut perlu di siapkan kader-kader penerus yang nantinya mampu mengkoordinir, mengamalkan dan mempertahankan faham tersebut dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama.
b. Aspek Paedagogis / Pendidikan
Adanya keinginan untuk menjembatani kesenjangan antara pelajar umum dan pelajar pesantren.
c. Aspek Sosiologis
Adanya persamaan tujuan, kesadaran dan keikhlasan akan pentingnya suatu wadah pembinaan bagi generasi penerus para ulama’ dan penerus perjuangan bangsa.
Gagasan untuk menyatukan langkah tersebut dalam muktamar ma’arif pada tanggal 20 jumadil akhir 1373 H, bertepatan dengan tanggal 24 pebruari 1954 di Semarang. Usulan ini dipelopori oleh pelajar-pelajar dari Yogyakarta, Solo dan Semarang yang diwakili oleh Sofyan Cholil Mushal, Abd. Ghoni, Farida Ahmad, Maskup dan Tolkhah Mansur. Muktamar menerima usulan tersebut dengan suara bulat dan mufakat dilahirkan oleh suatu organisasi yang bernama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’) dengan ketua M. Tolchah Mansur serta pada tanggal itu ditetapkan hari lahir IPNU.
Lahirnya IPNU merupakan organisasi termuda dilingkungan Nahdlotul Ulama’. Sebagai langkah awal untuk memasyarakatkan IPNU, maka pada tanggal 29 April sampai 1 Mei 1954 diadakan pertemuan di Surakarta yang dikenal dengan Kolida / pertemuan lima daerah yaitu meliputi Yogyakarta, Semarang, Kediri, Surakarta, dan Jombang, menetapkan sebagai pucuk pimpinan sekarang pimpinan pusat serta merencanakan usaha untuk mendapatkan legitimasi dari Nahdlotul Ulama’ secara formal. Usaha mencari legitimasi ini diwujudkan dengan mengirimkan delegasi pada Muktamar UN ke X di Surabaya pada tanggal 8-14 September 1954. Delegasi tersebut dipimpin oleh M. Tolchah Mansur, Abdul Ghani, Farida Ahmad dengan perjuangan yang optimal akhirnya IPNU mendapat pengakuan dengan syarat beranggotakan putra saja, sedangkan putri akan diadakan organisasi tersendiri.
Pada tanggal 28 Pebruari sampai 3 Mart 1955 IPNU mengadakan konggres pertama di Malang, bersamaan itu pula di Solo terbentuklah Ikatan Pelajar Putri Nahdlotul Ulama’ (IPPNU) tepatnya pada tanggal 2 Maret 1955, dan pada tanggal itu pula ditetapkan sebagai hari lahir IPPNU.
Status IPNU-IPPNU dari konggres I sampai VI masih merupakan anak asuh LP Ma’arif, baru kemudian setelah konggres VI di Surabaya tanggal 20 Agustus 1966, IPNU-IPPNU meminta hak otonom pada Nahdlotul Ulama’ dengan maksud agar dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Pengakuan otonom ini diberikan dalam Muktamar Nahdlotul Ulama’ di Bandung pada tahun 1967 yang dicantumkan dalam AD / ART Nahdlotul Ulama’ pasal 10 ayat 1 dan 9 dalam Muktamar Nahdlotul Ulama’ di Semarang tahun 1979, status IPNU-IPPNU terdapat pada pasal 2 AD Nahdlotul Ulama’.
B. Perubahan Besar IPNU-IPPNU
Perubahan mendasar dengan merubah akronim dari awal berdiri sampai sekarang telah mengalami tig kali. Hal ini dikarenakan oleh situasi dan kondisi yang berkembang, pengaruh eksternal terhadap perubahan tak bisa dinafikan. Ekses politik yang berasal dari bias ketakutan penguasa terlihat jelas.
Eksistensi IPNU-IPPNU memang tidak bisa dilepaskan dari desain Nahdlotul Ulama’, termasuk ekses dari Improvisasi Politik Nahdlotul Ulama’ ketika menjadi partai politik (1954-1984). Puncaknya ketika Orde Baru berusaha menancapkan Hegemoni kekuasaannya di sektor pendidikan, IPNU
dipaksa memisahkan diri dari lembaga pendidikan sebagai basis utamanya. Maka pada konggres X di Jombang, IPNU terpaksa mengubah kepanjangan akronim menjadi Ikatan Putra Nahdlotul Ulama’. Perubahan nama ini membawa konsekuensi pada perubahan Orientasi dan bidang garap (IPNU-IPPNU) Nahdlotul Ulama’.
Ketika gerakan rakyat berhasil melahirkan (pinjam bahasa) reformasi pada tahun 1998 dan mengakibatkan terbukanya kran kebebasan ekspresi rakyat, muncul “Desakan” untuk menegaskan kembali orientasi gerakan IPNU seperti mandat dan misi awal berdiri. Dalam perspektif Nahdlotul Ulama’, penegasan orientasi IPNU dilakukan pertama kali dengan mengembalikan akronim IPNU seperti pada awal berdirinya, menjadi Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’. Keputusan tersebut telah ditetapkan dalam konggres XIV IPNU di Surabaya, tanggal 19-24 Juni 2003.
C. Citra Diri IPNU-IPPNU
a. Hakikat IPNU-IPPNU
IPNU-IPPNU adalah wadah perjuangan putra dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk mensosialisasikan komitmen nilai-nilai kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan potensi sumber daya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran islam Ahlussunah Wal Jama’ah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pancasila UUD ’45.
b. Orientasi
Orientasi IPNU-IPPNU berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan pergerakan dan zona keterpelajaran dengan kaidah “belajar, berjuang, dan bertaqwa”, yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, kekaderan, dan keterpelajaran.
– Wawasan Kebangsaan
Yaitu wawasan yang dijiwai oleh azaz kerakyatan yang dipimpin oleh hikmay kebijaksanaan, yang mengakui kebinekaan sosial budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Hakekat dan martabat manusia yang memiliki komitmen dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan Negara berlandaskan prinsip keadilan persamaan dan demokrasi.
– Wawasan Keislaman
Yaitu menempatkan ajaran agama islam sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam memberikan makna dan arah pembangunan manusia. Ajaran islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin yang menyempurnakan dan memperbaiki nilai-nilai kemanusiaan. Karwena itu dalam bermasyarakat haruslah bersikap Tawashut dan I’tidal, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bersikap membangun dan menghindari laku Tathoruf (Ekstrem, melaksanakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kedzoliman), Tasamuh manusia dan lingkungan, amar ma’ruf nahi munkar, memiliki kecenderungan untuk melakukan usaha perbaikan serta mencegah terjadinya kerusakan harkat kemanusiaan dan kerusakan lingkunga, mandiri, bebas, terbuka dan bertanggung jawab dalam berfikir, bersikap dan bertindak.
– Wawasan Keilmuan
Menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader, agar menjadi kader-kader yang memiliki komitmen terhadap ideologi, cita-cita perjuangan dan organisasi, bertanggungjawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi, juga diharapkan dapat membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan, serta memiliki kemampuan mengembangkan organisasi kepemimpinan, kemandirian dan kepopuleran.
– Wawasan Keterpelajaran
Wawasan yang menempatkan Organisasi dan anggota pada pemantapan diri sebagai Center Of Excellence pemberdayaan sumberdaya manusia terdidik dn berilmu, berkeahlian dan visioner yang diikuti kejelasan misi sucinya, sekaligus strategi dan operasionalisasi yang berpihak kepada kebenaran, kejujuran serta amar ma’ruf nahi munkar. Wawasan ini meniscayakan karakteristik organisasi dan anggotanya untuk senantiasa memiliki hasrat ingin tahu, belajar tarus menerus dan mencintai masyarakat belajar. Mempelajari daya analisis, daya sistesis pemikiran, agar dapat membaca realitas dan dinamika kehidupan yang sesungguhnya, terbuka menerima perubahan, pandangan dan cara-cara barun pendapat baru serta pendapat yang berbeda, menjunjung tinggi nilai, norma, kaidah dan tradisi serta sejarah keilmuan serta berorientasi kemasa depan.
D. Posisi IPNU-IPPNU
Ø Intern
IPNU-IPPNU sebagai perangkat dan badan otonom Nahdlotul Ulama’, secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lain, yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing badan otonom hanya dapat dibedakan dengan melihat orientasi target group (kelompok binaan) dan bidang garapan masing-masing.
Ø Ekstern
IPNU-IPPNU adalah bagian dari generasi muda Indonesia, yang memiliki tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara republic Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuangan Nahdlotul Ulama’ serta cita-cita bangsa Indonesia.
Ø Fungsi
IPNU-IPPNU berfungsi sebagai :
1. Wadah berhimpun putra dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk melanjutkan semangat dan nilai-nilai Nahdliyah.
2. Wadah komunikasi pura dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk menggalang ukhuwah islamiyah dan mengembangkan syari’at islam.
3. Wadah kaderisasi putra dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk mempersiapkan kader-kader bangsa.
4. Wadah aktualisasi putra dan Putri UN dalam pelaksanaan dan pengembangan syari’at islam.
Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran panggilan dan pembinaan (target group) IPNU-IPPNU adalah setiap putra dan putri bangsa yang syarat keanggotaan, debagaimana ketentuan dalam PADA dan PRT IPNU-IPPNU.
E. Sikap dan Nilai
Sikap dan nilai-nilai yang harus dikembangkan anggota IPNU-IPNU adalah sikap dasar keagamaan dan nilai-nilai yang bersumber dari sikap kemasyarakatan Nahdlotul Ulama’ yaitu :
a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran islam
b. Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi
c. Menjunjung tinggi sikap keikhlasan dalam berkhidmat dan berjuang
d. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-Ukhuwah), persatuan (al-Ittihad) serta kadis mengasihi
e. Meluhurkan kemuliaan moral (al-Akhlakul Karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-Shidqu) dalam berpikir,bersikap dan bertindak
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan Negara
g. Menjunjung tinggi nilai-nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah sebagai ibadah kepada Allah SWT
h. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya
Selalu bersikap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.