https://muntijo.files.wordpress.com/2014/11/pelantikan-jadi.jpg

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 22 Maret 2012

Sejarah Terbentuknya IPNU-IPPNU Kecamatan Salem

        Akhir tahun 2007muncul gerakan dan semangat memajukan organisasi islam yang sangat dibutuhkan untuk generasi muda agar kenal islam lebih jauh. Gerakan itu dipelopori pelajar SMA Salem, awalnya gerakan tersebut adalah ikatan remaja mesjid. Namun setelah berkonsultasi dengan tokoh NU, gerakan tersebut menjadi gerakan untuk memajukan islam ahlusunah waljamaah atas dasar islam yang rahmatan lil alamin, dan tidak lepas dari pancasila dan UUD. Setelah itu wilayah salem mayoritas warganya beraliran ahlu shunah waljamaah, sehingga di masa depan membutuhkan organisasi muda yang akan mengemban dan mempertahankan islam ahlu shunah wal jamaahala Nahdlatul Ulama.
Pada waktu itu (tahun 2007 )di utus 7orang Remaja /siswa untuk mengikuti kegiatan Konferensi Cabang IIPNU-IPPNU Brebes di Songgom . Ke 7 nama tersebut adalah
1. Widiyantoro (Salem)
2. Saeful Qirom (Wanoja)
3. Latif Barun Abdullah( Salem)
4. Iqbal Fahmi (Indrajaya)
5. Ahmad Fauji (Salem)
6. Dedeh Nurhasanah (Bentar)
7. Ratnasari (Banjaran)
Yang bermaksud mempelajari organisasi itu. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, gerakan itu terus bergulir untuk merealisasikan berdirinya organisasi IPNU-IPPNU Salem. Sampai tiba waktunya pada tanggal 28-29 juni 2008 digelarlah makesta sekaligur konferancab pertama sehingga berdirilah IPNU-IPPNU dengan kepengurusan pertama
ketua IPNU Rekan M.Triono
dan Ketua IPPNURekanita Indarawati.

Dan sampai saat ini organisasi terus bergenerasi dengan kepengurusan yang baru .
Ketua IPNU M.Triono 2008-2010
Saeful Qirom 2010- Sekarang
Ketua IPPNU Indrawati 2008-2009 Ragil Asih Kurniasih 2009-2010 Iis Nursoimah 2010-sekarang

PAC IPNU-IPPNU salem Berterimakasih atas bimbingan dukungan dan perjuangan Tokoh NU salem terutama Bapak Syamsul Ma’arif yang berperan besar dalam berdirinya IPNU-IPPNU Salem. Bahkan Beliau Berkata Berdirinya IPNU-IPPNU Salem adalah kado terbesar hidupnya ....

Note: generasi muda yang ingin ikut terlibat dalam sejarah IPNU-IPPNU salem nantinya. Ayo bergabung ke IPNU-IPPNU salem di jamin gak bakalan nyesel..

Sejarah IPPNU

Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolan ini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akan diadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang dinamakan IPNU putri.
Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955, ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (Mahmudah Mawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:
  1. Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU
  2. Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiran IPNU putri.
  3. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib.
  4. PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah.
  5. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU. Selanjutnya PB Ma’arif NU menyetujui dan mengesahkan IPNU putri menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).
Dalam perjalanan selanjutnya, IPPNU telah mengalami pasang surut organisasi dan Khususnya di tahun 1985, ketika pemerintah mulai memberllakukan UU No. 08 tahun 1985 tentang keormasan khusus organisasi pelajar adalah OSIS, sedangkan organisasi lain seperti IPNU-IPPNU, IRM dan lainnya tidak diijinkan untuk memasuki lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pada Kongres IPPNU IX di Jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjangannya “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama” berubah menjadi “Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama”.
Keinginan untuk kembali ke basis semula yakni pelajar demikian kuat, sehingga pada kongres XII IPPNU di Makasar tanggal 22-25 Maret tahun 2000 mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikan ke basis pelajar dan penguatan wacana gender.
Namun, pengembalian ke basis pelajar saja dirasa masih kurang. Sehingga pada Kongres ke XIII IPPNU di Surabaya tanggal 18-23 Juni 2003, IPPNU tidak hanya mendeklarasikan kembali ke basis pelajar tetapi juga kembali ke nama semula yakni “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan akronim ini, IPPNU harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi pembangunan SDM generasi muda utamanya di kalangan pelajar putri dengan jenjang usia 12-30 tahun dan tidak terlibat pada kepentingan politik praktis yang bisa membelenggu gerak organisasi.

Sejarah IPNU

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H/ 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konbes LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang).
Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.
Visi IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah  yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kini IPNU telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah di tingat provinsi dan 374 Pimpinan Cabang di tingkat kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2008, anggota IPNU telah mencapai lebih dari 2 juta pelajar santri yang telah tersebar di seluruh Indonesia.

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis


Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.
Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.
Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW.
Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.
Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.
Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid b Muawiyah.
Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.
Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.
Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.
Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.
Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.
Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.
Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.
Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. ”Siapa mereka itu, Rasul?” tanya sahabat. ”Mâ ana Alaihi wa Ashâby,” jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.
Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.
Aswaja sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.
Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?
Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.
Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.
Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya.
Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.
Aswaja sebagai Manhaj
Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh.
Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.
Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.
Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.
Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.
Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.
Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah
Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 200

TRADISI DAN AMALIYAH NAHDLATUL ULAMA



Ber-agama merupakan sebuah kebutuhan bagi manusia, dan orang yang beragama pasti punya keinginan untuk melakukan pendekatan terhadap Tuhannnya (Allah). Jalan yang ditempuh dalam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, dan untuk itu itu biasanya dibutuhkan simbol, upacara, alat. Yang dilakukan dengan cara berpikir yang bersifat kebendaan (materialism).
Indonesia dalam hal keagamaan cenderung lebih bersifat ritual-ritual yang bersifat upacara, simbolisasi, misal : memperingati mauludan, memperingati wafatnya orang-orang yang dimuliakan. Secara realitas sosial manusia-manusia yang dianggap suci (wali) tersebut memang merupakan sebuah kenyataan (realitas), bahwa selama hidup hubungan interaksi sosial bermasyarakatnya baik.
Ritual keber-agama-an dalam hal upacara-upacara peringatan sudah demikian kuat akarnya. Islam datang ke Indonesia melalukan proses percampuran budaya yang mentradisi di masyarakat dengan kuat. Secara pelan dan halus menjadikan ajaran Islam bisa diterima di masyarakat.
Tradisi ziarah kubur “padusan” istilah untuk orang Gresik dalam menyambut bulan suci Ramadhan, merupakan sebuah kejadian kausalitas antara manusia yang hidup dengan yang sudah meninggal. Dengan lahirnya kita di dunia yang fana + kebendaan ini merupakan sebab dari adanya kedua orang tua kita dan akibat dari dari hubungan suami istri yang di ridhoi Allah (Tuhan) serta direstui oleh KUA, sehingga terlahirnya bayi (kita) manusia, apapun alasannya bahwa berbakti kepada orang tua tidak hanya putus sampai orang tua kita meninggalkan alam dunia, supaya kita selalu ingat bahwa kita terlahir di dunia ini melalui kedua orang tua kita atas bantuan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) Allah (Tuhan) yang maha Esa.
Tahlil merupakan salah satu upacara peringatan yang bersifat religi (sistem kepercayaan) yang dilakukan oleh sebagian besar mayoritas masyarakat muslim di Indonesia, pada awalnya merupakan sebuah acara peringatan untuk seorang yang meninggal dunia, yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Bahwa seorang tadi arwahnya kembali kerumahnya, maka di dalam kamarnya dipersiapkan makanan dan minuman yang menjadi kesukaannya dimasa hidup (sesajen), tapi oleh ajaran Islam (pasca tradisional) model peringatan “untuk” (almarhum/almarhumah) tadi dirubah menjadi upacara peringatan yang bersifat kumpulan bersama-sama (sosial) serta membaca bacaan-bacaan suci nan mulia yang biasa di sebut dengan tahlilan.
Dalam dunia ide, penciptaan ide bacaan tahlil tersebut sangat rasional, jika dilihat dari makanan dan minuman yang tadinya hanya dipersembahkan untuk yang sifatnya sesajen belaka, telah diputar balikkan menjadi jamuan untuk orang-orang yang hidup dan ikut tahlilan, dalam hal kebutuhan perut para undangan “tujuh harinya” dan itu sangat rasional yang disesuaikan dengan kadar iman masing-masing orang.
Realitas sosial dalam kehidupan masyarakat, kita membutuhkan hubungan timbal balik antara sesama makhluk sosial, ada yang memberi, pasti ada yang mau menerima dan itu wajar, dan tidak ada yang bersifat bid’ah, khurafat, ataupun yang menjadi turunannya, penilaian itu ada karena tidak yakin, serta lebih bersifat pada rendahnya tingkat kecermatan dan pemahaman terhadap rekayasa kebudayaan beragama.
Konteks penafsiran otoritas untuk dinamika kehidupan sosial. Thawaf dalam ibadah haji yang merupakan salah satu rukun haji, dan wajib dijalankan oleh semua jama’ah haji. Itu merupakan sebuah tradisi ibadah yang diwariskan dari Nabi Ibrahim A.S (belum Islam), sampai pada masyarakat jahiliyah dengan ritual thawaf “telanjang bulat” tanpa sehelai kain, yang pada akhirnya muncullah sebutan kain ihrom. Dan ritual thawaf itu sendiri diatur dalam Al qur’an dan hadits dengan sangat rasional untuk umat Islam.
Untuk realitas ritual-ritual agama yang bersifat abstrak tapi nyata, tergantung pada tingkat pemahaman seorang manusia untuk memahami keabstrakkan ajaran-ajaran agama yang dipelajari, dan disinilah masyarakat akan lebih rasional jika mereka pada umumnya memilih model beragama yang lebih gampang untuk dicerna dalam olah berpikir tingkat ke-rasionalan ajaran-ajaran Islam yang di tawarkan ditengah-tengah masyarakat umum.
Kehidupan religius merupakan sebuah kenyataan dari sebuah agama didalam kehidupan manusia untuk dapat mengenal lebih dekat dengan Tuhannya melalui ritual-ritual yang bersifat rasional meyakinkan, sehingga menjadi kebutuhan kehidupan menjadi moralitas spiritual seorang manusia dalam menjalankan kehidupannya yang profan dan fana ini dalam fungsinya sebagai sebagai makhluk sosial, budaya, dan ber-tradisi.
Sesuatu yang ideal ini dilandaskan pada syarat-syarat yang tak akan bisa diungkap hanya melalui pengamatan indrawi. Dia merupakan produk kehidupan sosial. Kalau masyarakat mampu menyadari dirinya sendiri dan dapat mempertahankan pemahaman akan dirinya pada titik intensitas (istiqomah) yang sesuai. Tidak dapat tidak, masyarakat harus berbentuk gabungan, kumpulan dan terpusat. Menjadikan sebuah organisasi yang koordinatif dengan satu komando satu tujuan mempertahankan Islam ala Indonesia yang dipertahankan sampai hari ini bahkan sampai hari kiamat tiba, oleh salah satu ormas Islam tradisional terbesar (NU), sesuai dengan survey yang pernah dilakukan oleh LSI (lembaga survey Indonesia) yang Direktur lembaga tersebut bernama : Deni. J.A, bahwa penduduk Indonesia yang mengaku sebagai orang Islam sesuai model diatas sebanyak 65 % dari seluruh jumlah penduduk di seluruh Indonesia.
Bahwa hidup matinya suatu ideologi, tergantung kepada berhasil tidaknya da’wah yang diusahakan oleh pendukung ideologi itu sendiri. Ritual ideologi model upacara-upacara, simbol-simbol, maupun alat-alat yang paling kena untuk menda’wahkan Agama Islam adalah ritual model upacara-upacara, simbol-simbol, maupun alat-alat yang dapat menembus atau melayani perasaan masyarakat (manusia).
Keberadaan NU sebagai jam’iyyah dan jama’ah yang mempertahankan faham ahlussunnah waljama’ah sedang menghadapi tantangan berat yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari luar datang dari kelompok-kelompok yang tidak suka terhadap ritual ibadah yang dilakukan oleh warga NU seperti Tahlil, Maulid, Pembacaan Barzanji, dan lain sebagainya. Sementara diinternal NU sendiri, terutama dikalangan muda NU, ada rasa ‘enggan’ untuk melestarikan tradisi yang sudah menjadi ciri khas peribadatan warga nahdliyin ini. sementara kalangan elit NU (pengurus struktural) belum mampu berbuat banyak untuk menjaga tradisi tersebut dengan melakukan kaderisasi kepada generasi muda NU. Mereka nampaknya lebih tertarik untuk terjun ke politik praktis dengan mensukseskan dan mendukung salah satu calon Bupati, Wali Kota atau Gubernur bahkan bisa jadi Presiden.
Semoga Agama Islam Indonesia bisa bertahan walau goncangan budaya globalisasi kapitalis telah mem-polusi masyarakat beragama, walaupun pergeseran-pergeseran akibat “polusi” yang telah terjadi, semoga harapan-harapan masih ada dan tidak hanya tinggal harapan belaka, karena Agama Islam Indonesia adalah warisan dari Nabi Muhammad yang di wariskan kepada para kyai-kyai, ulama’-ulama’. Termasuk ulama’ yang ada di Indonesia.


A. TAWASSUL

Tawassul artinya perantara. Kalau kita tak sanggup menghadap langsung, kita perlu seseorang perantara. Sama halnya kalau kita tidak langsung bertemu presiden, kita lewat menteri. Kita tidak bisa langsung ke menteri, tapi lewat ajudan dulu. Kita tidak bisa langsung ketemu kiai, kita lewat anaknya. Dan kita tidak dapat langsung ke Allah, mohon perantara para kekasih-Nya, para nabi, syuhada dan orang-orang saleh.
Tradisi orang NU dalam tawassul kental sekali, terutama dikalangan bawah. Tidak laian karena mereka merasa golongan rendahan, orang awam, akar rumput. Jadi jelas bila ada faham yang memperbolehkan tawassul, otomatis mereka setuju karena diindonesia tidak ada Nabi Allah, para pejuang Islam atau para syuhada, tetapi yang ada Shalihin (para Wali Allah) maka yang mereka kunjungi tentu para Wali Allah itu. Maka tidak mengherankan jika kita jumpai makam-makam wali allah senantiasa penuh peziarah. Mereka memohon kepada Allah dengan cara bertawassul kepada para wali Allah itu. Mereka tahu takan mungkin memeohon kepada seorang wali atas semua hajat dan kepentingannya, sayangnya hanya karena satu dua orang kebablasan, akhirnya golongan lain mudah memberi cap orang NU telah melakukan tindakan musyrik.
Tawassul yang dilakukan semacam ini berdasarkan  pada dalil ;
















Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirath al-Mustaqim: Tak ada perebedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadits sahih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang-orang yang memiliki hajat dimasa khalifah Utsman untuk bertawasul kepada Nabi  setelah dia wafat. Kemudian mereka bertawassul kepada Rasul dan hajat merekapun terkabul. Demikian diriwayatkan ole hath-Thabrany.

Dalil berikutnya ;













Dari sahabat Anas, ia mengatakan: Pada zaman Umar bin khatab pernah terjadi musim paceklik. Ketika melakukan shalat istisqa Umar bertawassul kepada paman Rasullah, Abbas bin Abdul Muthalib: Ya tuhan dulu kami mohon kepada-Mu dengan wasilah nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujuan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman Nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka. ( HR.al-Bukhari).


B. TAHLIL

Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illallah. Dimasyarakat NU sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap pertemuan yang didalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-sama disebut Majelis Tahlil. Majlis Tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan dimana saja, bisa pagi, siang, sore atau malam. Bisa di Masjid, Mushalah, Rumah atau lapangan.
Acara ini bisa diselenggarakan khusus Tahlil, meski banyak juga acara tahlil ini ditempelkan pada acara inti yang lain. Misalnya setelah Dibaan disusul Tahlil, Yasinan lantas Tahlil, sebelum midodareni ada tahlil, acar Tasmiyah (memberi nama Bayi) ada Tahlil, Khitanan ada Tahlil, rapat-rapat ada Tahlil, kumpul-kumpul ada Tahlil, pengajian ada Tahlil, sampai arisanpun ada Tahlil. Waktu yang digunakan untuk Tahlil bisannya 15 – 20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat La Ilaha Illallah … 100 kali, 200 kali, atau 700 kali, atau diperpendek hanya 3 kali atau 21 kali. Semua ini disesuaikan kebutuhan dan waktu.
Semua rankaian kalimat yang ada dalam tahlil diambil dari ayat-ayat Al-qur’an dan Hadits Nabi.
Jadi keliru pemahaman sebagian orang yang menganggap Tahlil buatan kiai atau ulama. Yang menyusun jadi kalimat-kalimat baku Tahlil dulunya memang seorang ulama, tetapi kalimat demi kalimat yang disusunya tak lepas dari anjuran Rasulullah.
Tahlil ini dijalankan berdasar pada, pertama :





Rasullah bersabda: Siapa menolong mayit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Zikir, Allah memastikan surga baginya ( HR. ad-Darimiy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)

Dalil kedua













Sabda Nabi : Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keleuarga kalian walau hanya air steguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedakahlah dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Jika kalian tidak mnegerti Al-Qur’an, berdoalah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh, Allah telah berjanji akan mengabulkan doa kalian.
Dalil ketiga;









Dalam Syarah al-Muhadzdzab Imam an-Nawawi berkata; aadalah disuakai seorangyang berziarah kepada orang mati lalu membaca ayat-ayat Al-Qur’an sekadarnya dan berdoa untuknya. Keterangan ini diambil dari Teks Imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.

C. ZIARAH QUBUR

Sudah menjadi pemandangan umum dikalangan santri NU, kalau tidak kamis sore ya Jum’at pagi atau bada’ Jum’at, meraka membiasakan diri ziarah kekkubur. Kalau meraka dipesantren tentu makam kia atau kelaurga kiai yang dikunjunginya, kalu ia bertepatan dirumah, makam ibu-Bapak dan keluarga yang diziarahi. Ritual yang dikerjakan sangat tergantung pada santri tersebut. Bagi yang peka lingkungan, sebelum kirim doa, terlebih dahulu membersihkan lingkungan dari sampah dedaunan, atau mengganti bunga-bunga yang sudah kering diatas makam. Setalah itu baru membaca Al-Qur’an, kalimat Thayibah atau membaca surat yasin. Tidak ada batasan yang mengikat semua dilakukan dengan ikhlas, lalu diakhiri dengan membaca doa, doa kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Mendoakan untuk diri sendiri para kiai, bapak ibu dan semua umat islam, sebaiknya tidak ketinggalan. Dalil yang digunakan adalah






Hadits riwayat Hakim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: siapa ziarah kemakam orang tuannya setiap hari jum’at, Allah pasti akan mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang tua

Dalil kedua













Sebuah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir al-Ushul, hadits dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: bahwa amal manusia itu dilaporkan kepada Allah setiap hari senin dan kamis lalu diberitahukan kepada para nabi, kepada bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari jum’at. Mereka gembira bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajah mereka bersinar putih berseri.
Dalil ketiga









Hadits dari Hisyam bin Salim: setelah 75 hari ayahnya (Nabi Muhammad) meninggal, Fatimah tidak lagi tampak murung, ia selalu ziarah kemakam para syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap senin dan kamis, sambil berucap: disini makam Rasulullah.

Perempuan ziarah kubur dikalangan perempuan tidaklah populer. Sebab mereka sudah faham bahwa ziarah kubur bagi perempuan tidak diperkenankan. Boleh, tapi bagi perempuan usia lanjut. Bagi kaum mudahnya, tidak boleh. Alasannya perempuan muda pada umumnya banyak mendatangkan madarat ketimbang manfaat. Mungkin ada yang bertanya; Bagaimana jika perempuan muda tadi bisa menjaga diri dan kehormatannya? Disini lalu berlaku kaidah; al-’adah muhakkamah (kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai hukum).
Ziarah kubur bagi orang-orang NU memang tak bisa lepas dari hukum halal, haram, sunnah, makruh, mubah. Dalil-dalil yang dipakai orang-orang NU, pertama;















Tidaklah etis bagi perempuan melakukan ziarah qubur kecuali ke makam Rasulullah dan keluargannya. Kata-kata ”ahlinya” disini ialah makam para nabi dan para auliya. Tidak etis(makruh) semacam itu selama aman dari fitnah, jika tidak aman, misalnya berjubelnya peziarah, tentu harus tahu diri. Hal ini berdasar pada hadits riwayat Aisyah yang mengatakan: Apa yang saya ucapkan ya Rasul, kalau saya ziarah ke kubur? Jawaban Nabi; Katakan as-salamu’alaikum ahli ad-diyar min al-mu’minin wa al-muslimin”.

Hadits diatas  menunjukan bahwa Aisyah diperkenankan berziarah, bahkan dihimbau untuk memberi salam kepada yang sudah meninggal dunia.

D. MENABUR BUNGA DIATAS MAKAM

Sering kita melihat ketika selesai pemakaman maka yang terakhir ialah menabur bunga diatasnya, atau setiap kali berziarah maka tidak sedikit orang menaburkan bunga diatas pusaran/makam, seolah-olah kalau tidak menabur bunga kurang afdol atau ada sesuatu yang kurang. Lalu apasih hukumnya menabur Bunga diatas makam?
Sebenarnya tidak harus bunga , pelapah atau ranting-ranting pun boleh, yang penting masih basah atau segar. Hal ini senafas dengan ayat al-Qur’an: Yusabbihu lilahi ma fi as-samawati wa al-ardh (semua mahluk, termasuk hewan dan tumbuhan, bertasbih kepada Allah). Dan terkait dengan tabur bunga tadi, dihimbau penaburnya memilih bunga-bunga yang masih segar agar bisa memberi manfaat bagi si mayit, sebab bunga-bunga tadi bertasbih kepada Allah.
Hal ini berdasar pada hadits;
















Disunnahkan meletakan pelapah daun yang masih hijau diatas kubur/makam karena mengikuti sunnah nabi(hadits ini sanadnya sahih). Pelapah seperti itu dapat meringankan beban simayit berkat bacaan tasbihnya. Untuk memperoleh tasbih yang sempurna, sebaiknya dipilih daun yang basah atau segar. Analog dengan meletakan pelapah tadi ialah mencucurkan bunga atau sejenisnya. Pelapah atau bunga yang masih segar tadi haram diambil kerna menjadi hak simayit. Akan tetapi kalau sudah kering, hukumnya boleh lantaran sudah bukan hak simayit lagi(sebab pelapah, bunga atau sejenisnya sudah tidak bisa bertasbih).





















(kata ”mengikuti”) yaitu adanya hadits Ibnu Hibban dari Abu Hurairah yang mengatakan: Kami pernah berjalan bersama nabi melewati dua makam, lalu dia berdiri diatas makam itu, kamipun ikut berdiri. Tidba-tiba saja beliau menyingsingkan lengan bajunya, kamipun bertanya: Ada apa ya Rasul? Jawabnya: Apakah kalian tidak mendengar? Kami menjawab: Tidak, ada apa ya Nabi?Beliaupun menerangkan: Dua lelaki yang sedang disiksa didalam kuburnya dengan siksa yang pedih dan hina. Kamipun bertanya lagi:Kenapa bisa begitu ya Rasul? Jawab beliau: Yang satu, tak bersih kalu membasuh bekas kencing, dan satunya lagi suka adu domba. Rasul mengambil dua pelapah kurma, diletakanya diatas kubur dua lelaki tadi. Kami bertanya: Apa gunanya? Jawab Beliau: untuk meringankan siksa mereka berdua selagi masih basah.

F. PERINGATAN 7 HARI / 40 HARI ORANG MENINGAL

Sudah jadi tradisi orang jawa, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturahim, baik tetangga dekat maupun jahu. Mereka ikut belasungkawa atas segala yang barusan menimpa, sambil mendoakan orang yang meninggal ataupun yang ditinggalkan. Teristimewa bagi orang-orang NU, disamping bersiap menerima tamu, sanak keluarga, hndai taulan dan kerabat dekat, pada hari kedua sampai ketuju mereka mengadakan bacaan Tahlil dan Doa yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia. Soal ada makanan atau tidak bukanlah hal penting, tapi pemanfaat pertemuan majelis silaturrahim itu akan terasa lebih berguna jika diizi dengan zikir. Sayang dari orang-orang awam yang kebetualan dari keluarga miskin, mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk disajikan kepada para tamu. Padahal substansi bacaan Tahlil dan Doa adalah untuk menambah bekal bagi simayit..
Kemudian peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang seakan diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga yang ditinggalkan sekaligus ingin mengambil iktibar bahwa kita segera akan menyusul dikemudian hari.
Hadits yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini ialah;












Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selam 7 hari. Untuk itu sebaiknya mereka(yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan(sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia berkata: seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selama 7 hari sedang orang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.

G. BERZANJEN, DIBA’AN, BURDAHAN, MANAQIBAN

Kalau kita melihat lirik syair maupun prosa yang terdapat didalam kitab al-Barzanji, seratus persen isinya memuat biografi , sejarah hidup dan kehidupan Rasulullah. Demikian pula yang ada dalam kitab Diba’ dan Burdah. Tiga kitab ini yang berlaku bagi orang NU dalam melakukan ritual Mauludiyah atau menyambut kelahiran Rasulullah. Yang satunya khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qadir al-Jilany. Akan tetapi dalam praktiknya, al-Barzanji, ad-Diba’i, Kasidah Burdah dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailany sering dibaca ketika ada hajat anak lahir, hajat menentu, khitanan, tingkeban, masalah yang sulit terpecahkan, dan musibah yang berlarut-larut. Yang tidak ada maksud lain mohon doa berkah Rasulullah akan terkabul semua yang dihajatkan.
Sudah ratusan tahun kitab-kitab itu dipakai. Rupanya , belum ada yang menggeser  lewat keindahan kalimat-kalimat yang disusunya sampai sekarang. Bagi yang faham bahasa arab, tentu untaian kata-katanya sangat memukau. Umumnya mereka terkesima dengan sifat-sifat Rasulullah yang memang sulit ditiru, indah menarik dan mengharukan.
Ditengah acara Diba’an atau Berzanjen ada ritual berdiri. “” orang jawa menyebutnya dari kalimat “ asyraqal badru alaina”, dimana kalau sudah sampai disitu semua hadirin dimohon berdiri. Berdiri karena kehadiran nabi Muhammad ditengah-tengah majelis. Ada yang menyebutnya sebagai ’Marhabanan”.
Menurut muktamar NU ke 5 tahun 1930 di Pekalongan , berdiri ketika Berzanjen/Diba’an hukumnya sunnah ia termasuk ‘uruf syar’i . adapun landasan hukumnya ialah :







Tersebut dalam sebuah atsar: Rasulullah pernah bersabda: Siapa membuat sejarah orang mukmin (yang sudah meninggal) sama artinya menghidupkanya kembali seolah-olah ia sedang mengunjunginya, siap yang mengunjunginya, Allah akan memberinya syurga.


F. MEMPERINGATI MAULUD NABI

Memperingati hari lahir nabi sangat lekat dengan kehidupan warga NU. Ahri senin 12 Rabi’ul Awal (mulud), sudah dihapal diluar kepala oleh anak-anak warga NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran nabi sangatlah variatif, dan diselenggarakan sampai hari-hari bulan Rabi’ul as-Tsany (Bakdo Mulud). Biasannya ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan sepesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri; ada yang menyelenggarakan upacara sederhana dirumah masing-masing; ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di Mushalah dan Masjid-Masjid, dan bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat islam.
Muludan ini biasannya hanya membaca Berzanji tau Diba’ yang isinya tidak lain adalah biografi dan sejarah kehidupan Rasulullah. Bisa juga ditambah dengan berbagai kegitan keagamaan, seprti menampilkan kesenian Hadrah atau pengumuman hasil berbagai lomba, sedang puncaknya ialahMau’izhah hasanah dari muballigh kondang.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai Bid’ah (perbuatan yang dizaman Nabi tidak ada), namun termasuk Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan oleh islam. Banyak amalan seorang muslim yang dizaman Nabi tidak ada dan sekarang dilakukan umat islam, antaralain: Berzanjen, Diba’an, Yasinan, Tahlilan (bacaan Tahlilnya tidak Bid’ah, sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), Mu’izah hasanah pada acara pernikahan dan muludan.
Amalia ini berdasarkan dalil-dalil yang ada ;





Rasulullah bersabda: Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya diahri kiamat.







Umar mengatakan: Siapa menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya menghidupkan islam.

H. TALQIN

Talqin ialah mendikte. Sedangkan yang dimaksud disini ialah mendiktekan si mayit yang baru saja dimakamkan untuk menirukan kata-kata tertentu dari si penuntun. Soal apakah si mayit mendengar atau tidak, bukan masalah kita. Yang jelas, kalau dilihat dari sisi agama, bila seseorang meninggal, berpisalah ruh yang selama hidup menyertainya sehingga putus hubungannya dengan dunia fanah ini. Ia tidak lagi mampu melihat, mendengar, merasa, berfikir dan bergerak. Akan tetapi saat jasad sudah dimasukan ke liang lahat dan tanah sudah diratakan, datanglah dua utusan malaikat Allah, Munkar dan Nakir untuk menanyainya. Ruhnya dikembalikan agar simayit dapat menjawab pertanyaan malaikat.
Dalam hadits diterangkan bahwa si mayit tadi bisa mendengar suara sandal orang-orang yang pulang sehabis mengantar jenazahnya. Itulah sebabnya dia harus diingatkan kembali dengan mentalqinya ( apa agamamu, sia Tuhanmu, siapa Nabimu, apa Kitab sucimu dan siapa saudaramu). Pada waktu ditalqin diyakini ia mendengar dengan aharapan peringatan kembali ini bisa diterima dan berguna untuk menjawab pertanyaan dua malaikat nanti.
Amaliah orang-orang NU semacam ini berdasarkan pada Hadits;


















Teks lengkap mengenahi talqin ini seperti yang diriwayatkan bahwa Rasulullah saat mengubur anaknya, Ibrahim, mengatakan: Katakanlah: Allah Tuhanku.... sampai kata-kata: Hal itu menunjukan atas benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatkan dari nabi, sesungguhnya saat dia menguburkan anaknya, Ibrahim, dia berdiri diatas kubur dan bersabda: Hei anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata, dan aku tidak akan berkata yang menjadikan Allah itu Tuhanku, Islam Agamaku dan Rasulullah itu bapaku ! para sahabat ikut menangis, bahkan umar bin Khatab menangis samapai mengeluarkan air yang keras.


Dalil Kedua


















Talqin itu disunnahkan maka dikatakan kepadanya (mayit): hei hamba Allah, ingatlah engkau telah meninggal, bersaksilah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Surga adalah haq (benar adanya), neraka adalah haq, dan kebangkitan di Hari Kiamat juga haq. Hari kiamat pasti akan datang, tidak bisa diragukan lagi, Allah akan membangkitkan kembali manusia dari kuburnya, dan hendaknya engkau rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, Al-qur’an sebagai kitab suci, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum muslimin sebagai saudara, Hal ini berkenaan dengan adanya hadits dalam masalah ini, dan dalam kitab al-Raudhah ditambahkan: Hadits ini, meskipun dhaif, tapi lengkap penguat-penguatnya.