Latar belakang berdirinya Fatayat
sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk
anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal.
Selain
menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga kita memberikan perhatian untuk
menggalang kerja sama dengan unsur-unsur kepemudaan lain. Dulu ada forum untuk
Ormas Pemuda Islam. Jika ada masalah, kita bertemu di forum tersebut sebelum
diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula
yang menjadi embrio lain dari KNPI. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan
perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, Fatayat terlibat juga
secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat-Muslimat bergabung. Kemajuan
pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Muslimat
sudah harus diberi kesempatan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya.
Bukan saja di intern Muslimat, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu,
sudah muncul tuntutan agar kalangan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi
anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di
DPR-RI, yakni Ibu Machmudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU
tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski
pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif
perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU. Di Konstituante,
seingat saya, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang
kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Menurut saya, untuk situasi saat
itu perempuan sudah sangat maju.
Banyak
Muslimat NU yang mengambil posisi di legislatif. Ini wajar, karena sejak tahun
1950-an, dalam struktur NU, Muslimat sudah menjadi anggota pleno PBNU. Tahun
1956-an sudah ada anggota Syuriah PBNU dari perempuan, yakni Ibu Khairiyah
Hasyim dan Ibu Nyai Fatmah dari Surabaya. Keduanya menjadi a’wan. Tahun-tahun
kemudian dilanjutkan oleh Ibu Machmudah Mawardi, yang semula menjadi eksekutif
di Departemen Agama (Depag), tapi kemudian ‘hijrah’ ke legislatif. Selain itu,
dari tokoh-tokoh Muslimat ada Ibu Aisyah Dahlan, yang pernah menjadi Sekretaris
Menteri Agama (Menag) dan Ibu Abidah Maksum dari Jombang yang menjadi hakim
agama wanita pertama
Tahun
1962, pada Muktamar PBNU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya Muslimat
menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Muslimat yang akan
mencalonkan diri sebagai Kades, tapi tak ada rujukannya mengenai dibolehkan
atau tidak dalam agama. Keputusan PB Syuriah NU ternyata memperbolehkan.
Keputusan itu luar biasa maju, karena Fatayat dan Muslimat di-sah-kan untuk
tampil di ruang publik. Pada Muktamar di Solo inilah Fatayat NU resmi menjadi
badan otonom (Banom) NU.
Dalam
kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny. S. A. Wahid Hasyim sempat menggugat
penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu
beliau berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan
laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih,
melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakangnya. Ada
tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.
Pemikiran
ayah saya juga sejak awal sudah progresif dengan mendirikan Pesantren
An-Nizhamiyyah. Bahkan kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syamsuri, sekitar tahun
1926-1927, sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar,
Jombang. Khadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Tapi jalan terus.
Mbah Bisri (KH. Bisri Syamsuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal
pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa
saja, asal ditemani yang lebih tua Hanya saja, Mbah Bisri itu keras dalam
menegakkan aturan agama. Contohnya, ibu saya kawin dengan ayah sudah menjanda,
tapi ketika suami pertama yang tidak pernah dikenalnya meninggal, tetap
memberlakukan masa iddah kepadanya.
Pada
masa pemerintahan Soekarno, peran perempuan sudah maju. Menteri Perburuhan pada
masa beliau adalah seorang wanita, Ibu SK Trimurti. Soekarno juga memberi
peluang besar bagi perempuan untuk berkarir. Contohnya, Ibu Supeni, yang
menjadi Duta Besar Khusus dan pegawai tinggi pendidikan; Ibu Rosiyah Sarjono,
yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Depsos dan kemudian menjadi Menteri
Sosial. Bahkan, pada tahun 1948, Ibu Herawati Diah sudah mengikuti Kongres
Perempuan India di New Delhi. Berbeda benar dengan pemerintahan Presiden
Soeharto pada era Orde Baru, perempuan ditempatkan sebagai ‘pendamping’.
Dalam
hal ini, wajar kalau saya menuntut perempuan NU ada dalam kepengurusan PBNU,
sebab ketika NU membahas persoalan yang berkaitan dengan perempuan, dan dirinya
tidak dilibatkan, maka hal ini tidak adil bagi perempuan. Apalagi jika
periode-periode sebelumnya sudah ada perempuan di Syuriah NU. Keterlibatan
perempuan di PBNU ini sangat penting untuk mewakili kepentingan Muslimat,
Fatayat, IPPNU dan lain-lainya. Tapi tuntutan tersebut belum diterima sebagian
besar pengurus PBNU sekarang.
Pada
Muktamar NU di Lirboyo, saya berjuang habis-habisan untuk soal keterwakilan
perempuan dalam jajaran kepengurusan di PBNU ini. Hanya saja, ketika itu
ditolak dan saya merasa salah strategi. Seharusnya para kiai disowani
sebagaimana ketika kita mau meng-gol-kan program KB, hingga akhirnya pada 25
September 1969, ada pedoman penyelenggaraan KB di lingkungan keluarga NU.
Ketika pendekatan itu tak dilakukan, saya langsung menyadari bahwa ini salah
strategi. Apalagi di NU itu tak ada kultur konfrontatif.
Pengalaman Pasang-Surut
Pada
masa-masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah
Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex
offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah,
tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak saja.
Sekarang, agaknya hubungan Muslimat-Fatayat begitu longgar.
Semula
Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di
Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu
persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Lantas,
kapan kita dapat mengurusi diri sendiri? Tapi anehnya, sejak tahun 1967-1979
terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir
seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu
diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota
Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.
Ada
cerita, ketika Ibu Asmah Syahruni dan Ibu H. S.A. Wahid Hasyim ke daerah,
sering dikirimi surat penolakan untuk datang ke rumah pengurus Muslimat.
Misalnya, mantan Ketua Muslimat Ponorogo menolak didatangi karena ada anaknya
yang menjadi lurah. Daripada membahayakan anaknya yang lurah itu, dia kirim surat
yang isinya: “Saya masih tetap cinta Muslimat, tapi jangan datang ke rumah
saya.” Suasananya sampai seperti itu dan dialami oleh organisasi-organisasi
yang lain. Jadi, masa-masa surutnya sebenarnya bukan karena faktor internal,
tapi faktor eksternal. Karena situasi politik yang mengakibatkan kevakuman itu
terjadi.
Secara
internal, Fatayat pada waktu itu sebenarnya tidak ada masalah. Masih ada arisan
antarpengurus, peringatan hari-hari besar Islam, dan pelbagai aktivitas
keagamaan lainnya. Hanya saja kepengurusannya di beberapa daerah menjadi vakum.
Jadi, wajar saja kalau pada saat itu ada beberapa aktivis NU, termasuk Fatayat
dan Muslimat kemudian masuk Golkar dengan alasan mencari aman.
Pada
Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi.
Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar pengurus PP Fatayat merasa
sudah terlalu tua menjadi Fatayat. Terjadi alih generasi dari Ibu Malichah Agus
ke Ibu Mahfudhoh.
Perubahan
drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa kepemimpinan
beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI).
Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian
diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF
dan DEPAG dalam bentuk KHI. Dokumen tertulis penyerahannya ada.
Dalam
pelaksanaan KHI, ada dana untuk pengurus. Saya melihat sebagai awal perubahan
karena Fatayat akhirnya mengetahui uang dan ukurannya semua uang, sehingga
melupakan asal muasal jati dirinya. Perubahan lain adalah kerenggangan hubungan
Fatayat-Muslimat. Tak ada hubungan yang kental lagi sebagaimana sebelumnya.
Selain itu, mulai terjadi konflik internal antarMuslimat-Fatayat. Semua itu
berlangsung sampai sekarang. Mungkin saja sumber konfliknya hilang, tapi yang
tersisa hingga sekarang adalah faktor kedekatannya pun hilang. Apalagi Fatayat
merasa sudah sejajar dengan Muslimat dan lembaga-lembaga otonom lainnya.
Padahal, Fatayat lahir karena Muslimat, bukan karena NU! Ketika Fatayat menjadi
badan otonom, dan bukan lagi sebagai subordinat Muslimat, saat itu Kiai Wahab
Chasbullah mengatakan: “Opo Fatayat itu, digendong kok mbrosot ae!”. Maksudnya,
Fatayat itu dulu digendong-gendong, direngkuh-rengkuh, tapi ‘kok maunya
memisahkan diri saja. Itu yang tak terekam dalam sejarah Fatayat yang
sesungguhnya.
Pada
kepengurusan Dr. Sri Mulyati Asrori dan Ermalena HS, tampaknya Fatayat
berkeinginan kuat untuk mengembangkan diri. Networking dibangun. Tetapi pada
sisi lain, organisasi Fatayat sudah jauh dari semangat awal pendirian, yakni
memelihara budaya Islam dan kultur santri.
Ketika
saya menjadi Ketua Umum Muslimat, saya selalu mengundang teman-teman dari
Fatayat, IPPNU, KORPRI, untuk bincang-bincang di Kantor PP Muslimat, supaya ada
tetap sambung rasa. Tradisi itu sebelumnya sudah dilakukan oleh Dr. Fahmi
Saefuddin dan Ibu Sholehah Wahid Hasyim. Bahkan, dulu ada semacam lembaga
koordinasi perempuan NU yang melibatkan Muslimat, Fatayat, dan IPPNU.
Saya
ingin melihat Muslimat-Fatayat sekarang ini kedekatannya seperti itu. Ini
memang perlu transformasi pemikiran. Barangkali yang harus disadari: Fatayat
mungkin jauh lebih maju pemikirannya, tapi Muslimat lebih kaya dalam
pengalaman. Pada titik ini perlu sinergi yang lebih baik.
Terus
terang, saya kagum sekali pada adik-adik Fatayat sekarang yang pemikirannya
begitu fresh, tapi bisa turn in dalam masalah kemasyarakatan. Dulu kami merasa
sudah sangat maju, tapi ternyata sekarang mereka justru lebih maju.
Hemat
saya, dulu itu kerja sama terjalin dengan baik karena ada unsur keikhlasan.
Sekarang ini tampaknya keikhlasan sudah pudar. Keikhlasan yang saya maksudkan
adalah: keikhlasan untuk memimpin, keikhlasan untuk dipimpin. Juga keikhlasan
untuk saling mengambil manfaat secara bersama-sama. Sekarang? Saya rasa sudah
tak ada lagi….
Jaringan Kerja Fatayat
Sekitar
tahun 1960-an, Ibu Machmudah Mawardi, Ibu S. A. Wahid Hasyim, Ibu Syamsurizal,
Ibu Pudjo Utomo, dan lain-lain, mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam
Wanita Indonesia (BMOIWI) sebagai wadah persatuan wanita-wanita Muslim. Di
BMOIWI ini Fatayat juga bergabung untuk memperjuangkan kepentingan perempuan
dan Islam.
Di
dalam sebuah organisasi persatuan pemuda Islam (gabungan pemuda Islam), Fatayat
pun terlibat aktif. Demikian pula dalam Kongres Pemuda yang terdiri dari
unsur-unsur Pemuda, seperti Pemuda Marhaen, GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah,
Pemuda Sosialis, dan lain-lain.
Kenapa
Fatayat harus ada di mana-mana? Fatayat mempunyai dua muka yang tak terpisahkan:
keperempuanan dan kepemudaan. Karena itu dia aktif di BMOIWI dan KNPI. Bahkan,
sejak tahun 1988-an, Fatayat masuk ke Kowani. Kita dapat bekerja sama dengan
mereka, ketika kita menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, Fatayat dan
Muslimat aktif sebagai sukarelawan.
Fatayat Sekarang
Menurut
saya, Fatayat sekarang terlalu banyak berorientasi keluar, sehingga pembinaan
internal kurang sekali. Saya tahu karena sering ke daerah, ketemu dengan para
pengurus wilayah atau cabang.
Tapi
yang menarik dari Fatayat sekarang, sebagaimana pandangan teman-teman dari
kalangan LSM –bukan pandangan saya–, Maria Ulfah itu pendobrak ‘kebekuan’
internal Fatayat. Lihat saja beda Muslimat dan Fatayat tentang legal abortion
(pengesahan aborsi). Muslimat tak setuju, kecuali dengan catatan, tapi Fatayat
menganggapnya legal dan layak dilakukan.
Menurut
saya, pengesahan aborsi itu boleh saja dilakukan jika sesuai dengan hukum agama
dan didasarkan pada kebutuhan. Misalnya, kehamilan yang bisa mengancam
kesehatan ibu, maka aborsi bisa dilakukan. Malah saya mengusulkan, ada baiknya
pemerintah mempunyai sarana pelayanan resmi dengan prosedur yang ekstra ketat.
Prosesnya juga singkat: cukup disuntik atau disedot. Praktik tersebut telah
dilakukan di Turki, sebagaimana yang pernah saya lihat.
Pada
sisi lain, saya mungkin termasuk orang yang konservatif juga. Misalnya pada
masalah lesbianisme atau homoseksual, saya tak bisa menerimanya, karena Allah
tegas-tegas melarang sebagaimana yang terdapat pada kasus Sodom dan Gomorah.
Mereka itu harus dirangkul dan disadarkan. Jangan sampai melegalkan dan
mensupport mereka. Saat saya ditanya, di pesantren-pesantren praktik homo itu
juga merajalela, maka saya jawab: itu tetap melanggar perintah agama.
Demikian
pula dengan soal perkawinan beda agama. Sampai sekarang saya belum bisa
menerimanya. Alasannya, karena nanti akan mempengaruhi keturunan dan hubungan
antar keluarga, bahkan mungkin akan ada pengucilan. Kalau laki-lakinya saat
ijab kabul mengaku Islam lalu sesudahnya tidak, maka bagi saya pasangan itu
berarti sudah melakukan praktik zina.
Hemat
saya, modern itu tak berarti kita harus ikut arus orang lain. Modern itu bagi
saya adalah bisa menerima perubahan, asalkan masih dalam konteks tidak
melanggar norma yang diyakini. Mungkin orang menganggap saya kolot, terserah!.
Kita punya gendang sendiri dan harus menari dengan gendang sendiri. Jangan
sampai kita menari dengan gendang orang lain!
Biografi Diri
Saya
kini aktif di Komisi VIII DPR RI sebagai wakil ketua yang membidangi agama,
Sosial dan Pemberdayaan Perempuan. Saya memilih Golkar karena saya yakin bisa
mewarnai Golkar dengan ubudiyah NU. Alhamdulillah berhasil. Sekarang banyak
yang gabung.
Selain
itu, saya kini Ketua Umum (Ketum) Al Hidayah dan menjadi Ketua Parlemen untuk
Kependudukan dan Pembangunan yang menjadi bagian dari Asian Forum of
Parliamentarian on Population and Development (sekarang sudah melebar ke
kawasan Asia Pacific) (2005). Saya pun kini dipercaya untuk memimpin sebuah
organisasi kecil yang menghimpun keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (sejak
2002).
Ketika
aktif di Fatayat, saya hanya tamat SMA. Saat kuliah, saya tak sempat ujian
sarjana muda, karena pada tahun 1965, ada kebekuan perkuliahan di
kampus-kampus. Saya hanya banyak membaca dan membaca. Selain itu, saya sering
ikut pelatihan, workshop dan lain-lain. Alhamdulillah, kini saya sudah 3
periode di legislatif, dan terakhir pada 2004-2009, saya akan lebih konsentrasi
untuk ibadah, mencari bekal untuk akhirat. (Ditulis oleh: Neng Dara Affiah)
0 komentar:
Posting Komentar